Jusman Amin

Agama To Lotang

       Agama To Lantang lahir dalam sebuah tatanan yang telah terbentuk secara apik dalam masyarakat Bugis, agama mereka secara tersirat terdapat dalam sebuah tulisan yang sering disebut sebagai La Galigo. Epos ini mengisahkan bahwa dewa utama yang disembah oleh manusia (sebelum masuknya islam) adalah Patotoqe atau Sang Penentu Nasib yang bermukim di istana Boting Langiq atau Kerajaan Langit. Patotoqe mengutus anaknya ke bumi yang bernama Togeq Langiq atau yang disebut sebagai Batara Guru. Kemudian Batara Guru menikah dengan sepupuhnya bernama We Nyiliq Timo dari Kerajaan Bawah Laut. Inilah yang merupakan cikal bakal dari raja-raja di bumi. Dewa-dewa itulah yang disembah dalam kepercayaan lama masyarakat bugis.

     Sekelompok minoritas Bugis, yang sebagian besar menetap di Desa Buloe, Kabupaten Wajo, dan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) adalah penganut To Lotang yang masih konsisten mempertahankan agama leluhur.

     Menurut sejarahnya, pada awalnya nenek monyang To Lotang berasal dari Tanah Wajo. Ketika Islam masuk di Wajo dan diterima sebagai agama Kerajaan, semua masyarakat memeluk Islam kecuali penduduk Desa Wani yang menolak islam. Raja pun mengusir sebagian penduduk Desa Wani yang lalu menetap di Desa Buloe, Kabupaten Wajo, dan sebagian lainnya mengungsi ke Desa Amparita, Kabupaten Sidenrang Rappang (Sidrap).

     Penganut To Lotang memercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa yang mereka sebut "Dewata Seuae". Menurut mereka, kehidupan manusia di dunia ini adalah kehidupan periode kedua. Periode pertama yakni periode zaman Sewerigading dan pengikutnya. Kitab suci mereka adalah La Galigo dan nabi mereka adalah Sawerigading. Kitab suci La Galigo dan nabi Sawerigading itulah kepercayaan klasik yang dijaga hingga kini oleh masyarakat To Lotang.

     Seperti dalam La Galigo, pemimpin agama tertinggi disebut uwaq. Kepadanyalah segala persembahan dan doa disampaikan. Kemudian Uwaq-lah yang menyampaikan permintaan-permintaan kepada sang dewata. Di bawah Uwaq terdapat uwaq-uwaq lain, yakni uwaq pendamping dari pemimpin uwaq. Uwaq-uwaq pendamping inilah yang membantu pemimpin uwaq atau ketua uwaq dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Uwaq-uwaq pendamping ini berjumlah 7 orang.

     Penganut To Lotang mengakui adanya Mola Lelang (Menelusuri Jalan) yang berarti kewajiban yang harus dijalankan oleh penganutnya sebagai pengabdian kepada Sang Dewata Seuae. Kewajiban tersebut ada 3 macam yakni :

1. mappaenre Inanre (membawa sesembahan nasi);
2. tudang sipulung (duduk berkumpul);
3. sipulung (berkumpul),
     Kegiatan-kegiatan itu dipimpin oleh uwaq dan dibantu oleh uwaq-uwaq pendampingnya.

     Ada dua aliran dalam agama To Lotang: To Lotang To Wani dan To Lotang To Benteng. Penganut To Lotang To Wani melaksanakan agama leluhur mereka secara murni, sedangkan penganut To Lotang To Benteng mengakui bahwa mereka beragama Islam tetapi sehari-harinya masih melaksanakan ajaran To Lotang. Ajaran Islam yang laksanakan hanya sebatas acara perkawinan dan acara kematian.

     Berikut pemaparan Kepercayaan dari dua Aliran To Lotang.

To Lotang To Wani
-  Mengaku tidak lagi mengikuti Sawerigading tetapi hanya mengikuti ajaran La Pannaungi.
- Taggilinna Sinapatie artinya sebagai perubahan situasi dunia yang dihuni oleh manusia baru setelah musnah.
-  Ada periode Appengenna To Wani, tidak ada Sabuqna.
-  Perkawinan menurut keyakinan adat sendiri.
-  Penyelenggaraan mayat dengan cara sendiri.
-  Pusat ritus Sipulung di Perriq Nyameng.
-  Tempat kegiatan persembahan adalah kuburan.
-  Tidak mengakui kalau mereka Islam.

To Lotang To Benteng
-  Mengaku mengikuti ajaran Sawerigading.
Taggilinna Sinapatie, diartikannya sebagai perjalanan Sawerigading ke langit ke 7 susun dan
bumi 7 lapis.
-  Tidak adanya Appengenna To Wani tetapi mengakui Sabuqna yang menggambarkan Sawerigading pulang ke tanah 7 lapis untuk memegang jabatan baru.
-  Acara perkawinan berdasarkan Islam.
-  penyelenggaraan mayat secara Islam.
-  Pusat kegiatan di sumur kecuali kuburan Uwattaq Matanre Batunna.
-  Secara formal mengaku Islam 

     Sebuah kepercayaan yang telah mengakar dalam masyarakat membentuk sebuah keniscayaan yang amat luhur sehingga menjadi cakupan dalam tatanan sistem yang melahirkan budaya. Agama To Lontang secara kasat mata mungkin kita bisa samakan dengan agama atau kepercayaan lainnya yang berasal dari kearifan bangsa ini. Namun karakteristik dari masing-masing kepercayaan atau agama tersebut amatlah berbeda, baik dalam segi isi maupun kandungannya, sehingga corak dari masyarakat pendukungnya pun dapat kita lihat memunyai perbedaan yang mendasar.



Kepustakaan:
http://www.ahmadmaulana.com/2008/12/20
http://buginese.blogspot.com/
http://lagaligo.net/

Sumber:
http://wacannusantara.org/






READMORE
 

Kongruensi Segitiga

Dalam Postingan ini dibahas tentang hubungan kongruensi antarpoligon, secara khusus membahas tentang kongruensi segitiga. Untuk mengawali pembahasan terlebih dahulu perlu dipahami tentang korespondensi satu-satu. Dua poligon dikatakan saling berkorespondensi jika banyaknya titik sudut dari kedua poligon sama.

Poligon ABCD berkorespondensi dengan poligon EFGH, ini berarti:
a.         Titik A berkorespondensi dengan titik E, titik B berkorespondensi dengan titik F, dan seterusnya.
b.        Sisi AB berkorespondensi dengan sisi EF, sisi BC berkorespondensi dengan sisi FG, dan seterusnya.
c.         Sudut A berkorespondensi dengan sudut E, sudut B berkorespondensi dengan sudut F, dan seterusnya.
Definisi: dua poligon adalah kongruen jika ada korespondensi satu-satu antara titik-titik sudutnya sedemikian sehingga:
a.         Semua pasangan sisi yang saling berkorespondensi adalah kongruen;
b.        Semua pasangan sudut yang saling berkorespondensi adalah kongruen.
Postulat: dua segitiga kongruen jika ada korespondensi antara titik-titik sudutnya sedemikian sehingga dua sisi dan sudut apitnya dari segitiga yang satu kongruen dengan unsur yang berkorespondensi dari segitiga yang lain (sisi, sudut, sisi).
Postulat: dua segitiga kongruen jika ada korespondensi antara titik-titik sudutnya sedemikian sehingga dua sudut dan sisi apitnya dari segitiga yang satu kongruen dengan unsur yang berkorespondensi dari segitiga yang lain (sudut, sisi. Sudut).
Contoh soal:
Diketahui AD dan BC saling membagi 2 di titik E.
Buktikan: Δ AEB kongruen Δ DEC
Bukti:








READMORE
 

AGH. Muhammad As'ad

Anre Gurutta (AG) H. M. As’ad. (Dalam masyarakat Bugis dahulu beliau digelar Anre Gurutta Puang Aji Sade’). Beliau merupakan Mahaguru dari Gurutta Ambo Dalle (1900 - 1996), adalah putra Bugis, yang lahir di Mekkah pada hari Senin 12 Rabi’ul Akhir 1326 H/1907 M dari pasangan Syekh H. Abd. Rasyid, seorang ulama asal Bugis yang bermukim di Makkah al-Mukarramah, dengan Hj. St. Saleha binti H. Abd. Rahman yang bergelar Guru Terru al-Bugisiy.
Pada akhir tahun 1347 H/1928 M, dalam usia sekitar 21 tahun. AG H. M. As’ad merasa terpanggil untuk pulang ke tanah leluhur, tanah Bugis, guna menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk tanah Wajo khususnya, dan Sulawesi pada umumnya. Beliau berbekal ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan gelora panggilan ilahi, disertai semangat perjuangan yang selalu membara. Pada waktu itu, memang berbagai macam bid’ah dan khurafat masih mewarnai pengamalan agama Islam, oleh karena kurangnya pendidikan dan da’wah Islamiyah kepada mereka.
Langkah pertama yang dilakukan beliau setelah tiba di kota Sengkang adalah mulai mengadakan pengajian khalaqah di rumah kediamannya. Di samping itu beliau mengadakan da’wah Islamiyah di mana-mana, serta membongkar tempat-tempat penyembahan dan berhala-berhala yang ada disekitar kota Sengkang. Pada tahun pertama gerakan beliau, bersama dengan santri-santri yang berdatangan dari daerah Wajo serta daerah-daerah lainnya, beliau berhasil membongkar lebih kurang 200 tempat penyembahan dan berhala.
Pada tahun 1348 H/1929 M, Petta Arung Matoa Wajo, Andi Oddang, meminta nasehat Anre Gurutta H. M. As’ad tentang pembangunan kembali masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak di tengah-tengah kota Sengkang pada waktu itu. Setelah mengadakan permusyawaratan dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu : (!) AG H. M. As’ad, (2) H. Donggala, (3) La Baderu, (4) La Tajang, (5) Asten Pensiun, dan (6) Guru Maudu, maka dicapailah kesepakatan bahwa mesjid yang sudah tua itu perlu dibangun kembali. Pembangunan kembali masjid itu dimulai pada bulan Rabiul Awal 1348 H/1929 M, dan selesai pada bulan Rabiul Awal 1349/1930 M. Setelah selesai pembangunannya, maka Masjid Jami itu diserahkan oleh Petta Arung Matoa Wajo Andi Oddang kepada AG H. M. As’ad untuk digunakan sebagai tempat pengajian, pendidikan, dan da’wah Islam. Sejak itulah beliau mendirikan madrasah di Mesjid Jami’ itu, dan diberi nama al-Madrasah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo. 
Tingkatan-tingkatan yang beliau bina pada waktu itu adalah:
1. Tahdiriyah, 3 tahun
2. Ibtidaiyah, 4 tahun
3. Tsanawiyah, 3 tahun
4. I’dadiyah, 1 tahun
5. Aliyah, 3 tahun
 
Semua kegiatan persekolahan ini dipimpin langsung oleh AG H. M. As’ad, dibantu oleh dua orang ulama besar, yaitu Sayid Abdullah Dahlan garut, ex. Mufti Besar Madinah al-Munawwarah, dan Syekh Abdul Jawad Bone. Beliau juga dibantu oleh murid-murid senior beliau seperti AG H. Daud Ismali, dan almarhum AG H. Abd. Rahman Ambo Dalle.
Pengajian khalaqah (pesantren) yang diadakan setiap ba’da shalat Subuh, ba’da shalat Ashar, dan ba’da shalat Magrib, yang semula diadakan di rumah beliau, dipindahkan kegiatannya ke Mesjid Jami Sengkang.
Pesantren dan Madrasah yang didirikan dan dibina oleh beliau itulah yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren As’adiyah sekarang.
Selain Pesantren dan Madrasah tersebut di atas, AG H. M. As’ad juga membuka suatu lembaga pendidikan yang baru, yaitu Tahfizul Qur’an, yang dipimpin langsung oleh beliau, dan bertempat di Masjid Jami Sengkang.
Pada tahun 1350 H/1931 M. atas prakarsa Andi Cella Petta Patolae (Petta Ennengnge), dengan dukungan tokoh-tokoh masyarakat Wajo, dibangunlah gedung berlantai dua di samping belakang Masjid Jami Sengkang. Bangunan itu diperuntukkah bagi kegiatan al-Madrasah al-Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo, karena santrinya semakin bertambah.
AG H. M. As’ad berpulang ke rahmatullah pada hari Senin 12 Rabiul Akhir 1372 H/29 Desember 1952 M. dalam usia 45 tahun. Sesuai dengan wasiat beliau beberapa saat sebelum wafat, peninggalan beliau berupa Madrasah dan pesantren kemudian dilanjutkan pembinaannya oleh dua murid senior beliau; AG H. Daud Ismail, dan AG H. M. Yunus Martan.
Pada tanggal 13 Agustus 1999, berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 1959, dan Keppres RI No. 076/TK/Tahun 1999, Presiden RI telah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepada AG H. M. As’ad, karena jasa-jasa beliau yang luar biasa terhadapa negara dan bangsa Indonesia. Tanda penghormatan itu diterima di Jakarta atas nama beliau oleh putra beliau, H. Abd. Rahman As’ad.


Sumber: http://www.asadiyahsengkang.or.id/index.php







READMORE
 

Senjata Dan Perkakas Bugis

KULAHU BESSI
Mustika besi. Benda bundar sebesar kelereng, berwarna abu-abu kehitam-hitaman. Jika digosok sampai mengkilat akan tampak seperti aluminium. Terdapat noktah-noktah kekuning-kuningan pada kulitnya. Mustika besi diyakini dapat mendatangkan kekebalan tubuh/kulit bagi pemiliknya dari senjata tajam. Makanya sering menjadi bagian dari kelengkapan seorang satria yang akan pergi berperang. Kalangan Geolog menyebutnya Hematite, satu kumpulan mineral dengan unsur besi (fe) yang dominan. Struktur mineralnya trigonal, kandungan oksigen tinggi dengan tingkat kekerasan 5-6 skala mohs. Kadang disebut juga magnesteen, karena dapat menempel pada kutub besi yang berlainan seperti magnet. Biasa ditemukan dipegunungan bekas aliran lahar ratusan tahun yang lalu.

HULO LIHU

Mustika Bambu Pethuk. Potongan bambu seukuran jempol tangan. Panjangnya kira-kira 10 cm. Potongan bambu itu punya lebih dari satu pertemuan buku-buku (ruas) pada batangnya. Cabangnya melingkar dan ada beberapa cabang pada satu ruas. Umumnya dari jenis bambu gading (bambusa vulgaris) yang berwarna kekuning-kuningan. Konon bambu kuning itu sendiri adalah jenis bambu bertuah. Orang kebal sekalipun akan terluka bila ditusuk dengan bambu gading. Makanya saat perang melawan belanda dahulu, para bule itu sangat ngeri dengan bambu runcing yang terbuat dari bambu gading, sebab lukanya sangat perih dan tak bisa sembuh.
Hulo Lihu diyakini memiliki kemampuan sebagai mustika anti kebal peluru & senjata tajam. Juga dipercaya mampu menutup luka pendarahan akibat senjata tajam. Untuk mengetahui hulo lihu itu asli atau bukan, dapat diuji dengan meletakkannya diatas sungai yang mengalir. Hulo Lihu asli akan bergerak justru melawan arah arus sungai. Atau direndam dalam air mendidih, air tersebut akan berubah menjadi dingin jika hulo lihu tersebut asli.“

PHINISI

Kawasan pembuatan perahu phinisi terletak Kabupaten Bulukumba, sekitar 150 kilometer dari Kota Makassar. Karenanya Kabupaten Bulukumba juga populer sebagai Butta Panrita Lopi  (kampung ahli perahu), Masyarakatnya terkenal sangat piawai dalam membuat perahu phinisi yang diwarisi secara turun temurun. Perajin perahu akan ditemukan di hampir setiap pesisir pantai Bulukumba. Untuk sampai ke lokasi pembuatan perahu phinisi di Bulukumba, tepatnya di Tana Beru, dibutuhkan sekitar lima hingga tujuh jam perjalanan lewat darat dari Kota Makassar. Di pesisir pantai berjarak 24 kilometer dari Ibu Kota Bulukumba inilah tempat pertama kalinya perahu Phinisi Nusantara diluncurkan untuk mengarungi Samudera Pasifik hingga ke Vancouver, Kanada, dengan dikomandoi nakhoda Ammanagappa. Phinisi ini berlayar sampai Madagaskar, juga Hati Marege dan Damar Sagara yang masing-masing berlayar ke Australia dan Negeri Sakura, Jepang.
Pembuatan perahu diawali dengan upacara ritual spesifik yang sarat dengan nilai-nilai budaya setempat. Perahu dibuat menggunakan kayu pilihan, dengan memadukan keterampilan teknis dan kekuatan magis. Pada setiap bagian kapal sarat dengan falsafah hidup. Masyarakat setempat yakin bahwa kemampuan mereka membuat perahu lebih karena kedekatan mereka pada alam dan “sukma” laut. Keahlian para panrita lopi dari Bulukumba sudah terkenal sampai ke mancanegara. Umumnya adalah pesanan orang Eropa. Teknik pembuatan kapal tradisional phinisi yang dibuat masyarakat Bulukumba terbilang unik, karena tidak lazim dan menyimpang dari teori umum teknik perkapalan. Kalau pada pembuatan perahu modern yang dibuat terlebih dahulu adalah rangka kapal kemudian diberi dinding, maka perahu yang dibuat orang di Tanah Beru justru kebalikannya. untuk membuat perahu itu, mereka membuat dinding dahulu, baru kemudian diberi kerangka atau solloro. Namun anehnya, saat proses pengapungan kapal di lautan, desain kapal yang biasanya tanpa gambar dan hanya mengikuti naluri si pembuatnya, justru memiliki keseimbangan yang luar biasa. Lebih kuat dan tahan ombak dibandingkan dengan perahu yang dibangun mulai dari rangkanya dulu. Kapal phinisi sesuai desain awalnya, juga tidak menggunakan paku melainkan pasak kayu dan kulit kayu untuk menutupi celah-celah dinding perahu.

KAWALI

Kawali (Badik) adalah senjata penikam tradisional khas bangsa bugis. Orang bugis sendiri menyebutnya dengan beberapa nama, seperti tappi (yang diselip), gajang( penikam), dan kebanyakan disebut kawali. Seperti Kawali Raja (Bone) & kawali Rankong (Luwu). Ada juga yang dinamai gecong. Terbuat dari daun nipah (Nypa fruticans). Oleh empu-pembuat keris zaman dahulu yang terkenal sakti, daun nipah diurut sembari mengiringinya dengan zikir setiap urutan hingga daun nipah mengeras seperti besi. Bentuknya tipis & wangi. Badik jenis ini paling langka, sekarang tak ada lagi pembuat badik yang mampu membuatnya. Badik ini umumnya hanya dimiliki oleh raja-raja.beserta anak turunannya.
Kawali Bone terdiri dari bessi (bilah) yang pipih, bagian ujung agak melebar serta runcing. Sedangkan kawali Luwu terdiri dari bessi yang pipih dan berbentuk lurus. Kawali memiliki bagian-bagian: pangulu (ulu), bessi (bilah) dan wanoa (sarung).. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan dikenal dua jenis badik: badik saroso dan badik pateha. Badik saroso dibuat dengan bahan pamor, diberi kayu berukir serta sarung yang berlapis perak; sementara badik pateha dibuat dengan bentuk yang sederhana, terkadang tidak berpamor dan sarungnya terbuat dari kulit atau kayu biasa.
Badik sejati terbuat dari batu meteor. Empu pembuat badik bukanlah pembentuk pamor, sebab aura pamor akan muncul sendiri pasca penempaan. Pamor inilah yang konon menimbulkan efek magis  pada badik. Badik yang bagus adalah badik yang memiliki koneksi yang intim dengan pemiliknya. Semacama persenyawaan. Makanya, badik tidak pernah diperjualbelikan, hanya diwariskan. Karena akan menimbulkan bencana bagi mereka yang memilikinya tanpa koneksi bathiniah. Proses pembuatan kawali berlangsung dalam suatu suasana ritual. Kawali yang dibuat tanpa upacara ritual, maka kawali itu pamornya sama saja dengan pisau biasa. Pembuatan sebilah kawali umumnya selesai dalam tujuh hari. Namun, karena pembuatannya hanya dilakukan pada hari Jumat, maka satu kawali dengan pamor yang diharapkan akan selesai dalam tujuh hari Jumat berarti membutuhkan waktu 49 hari. Selama berlangsungnya pembuatan kawali, empu pembuat kawali terus-menerus berzikir. Tanpa zikir, biasanya pamor yang muncul dari badik yang dibuat membawa masalah sehingga pemiliknya justru tertikam, atau usahanya gagal, atau selalu sakit-sakitan.
Ada beberapa jenis badik berdasarkan kegunaan dari efek magisnya, contohnya badik jenis toasi yang berfungsi untuk menolak marabahaya bagi pemiliknya. Jenis sambang yang bisa menolak bahaya binatang buas. Selain itu, ada pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso, yang memiliki nilai sejarah. Ada juga sebagian orang yang meyakini bahwa badik berguna sebagai azimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk. Untuk menguji karakter sebuah kawali, ialah dengan cara memegang bagian ujungnya dengan ujung jari. Bila terasa sejuk, itulah badik untuk perdamaian dan kesejahteraan. Namun, bila terasa panas, apalagi sakit di ujung jari, maka itulah jenis badik pembunuh..
Badik biasanya dipegang dengan kedua tangan dalam posisi horizontal. Tangan kiri memegang bilah sarung, dan tangan erat menggemgam hulu badik, siap mencabut.
Cara menarik & memegang badik seperti ini menandakan kalau orang yang memegangnya paham filosofi penggunaan badik. Bagi orang bugis, menghunus badik dari sarungnya hanya boleh dalam keadaan feurce major. Keadaan yang dianggap diluar kuasa pemegang badiknya. Bila lawan tidak lagi memberikan peluang untuk berdamai. Sebab sekali badik keluar dari sarungnya, pantang disarungkan kembali sebelum berlumur darah.
Setiap lelaki bugis yang telah akil baliq dipastikan memiliki/menyimpan benda tajam ini. Dalam perkembangannya kawali lebih sebagai simbol penegak harga diri, menegaskan keberanian & sikap tanggungjawab dalam membela kehormatan. Dikalangan bangsawan, kawali juga sekaligus berfungsi sebagai simbol kekuasaan. Pada umumnya, badik digunakan untuk membela diri dalam menegakkan harga diri seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya Siri’ dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep Siri’ ini sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan.






 
READMORE
 

Siapa Bisa,,???

Bagi yang tahu jawabannya, tinggalkan di kotak komentar,, beserta langkahnya,,
Bagi penjawab pertama yang benar akan mendapatkan pulsa, jadi, silahkan cantumkan nomor hp anda,,!!!







READMORE
 

Asal-Usul Kota Makassar

Tiga hari berturut-turut Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang merangkap Tuma'bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari Tallo. Cahaya kemilau nan indah itu memancar keseluruh Butta Gowa lalu ke negeri sahabat lainnya.
Bersamaan di malam ketiga itu, yakni malam Jum'at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M. (Darwa rasyid MS., Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX, hal.36), di bibir pantai Tallo merapat sebuah perahu kecil. Layarnya terbuat dari sorban, berkibar kencang. Nampak sesosok lelaki menambatkan perahunya lalu melakukan gerakan-gerakan aneh. Lelaki itu ternyata melakukan sholat. Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di pagi buta itu, Baginda bergegas ke pantai. Tapi tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya.

Lelaki itu menjabat tangan Baginda Raja yang tengah kaku lantaran takjub. Digenggamnya tangan itu lalu menulis kalimat di telapak tangan Baginda "Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi datang merapat di pantai,” perintah lelaki itu lalu menghilang begitu saja. Baginda terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya telapak tangannya tulisan itu ternyata jelas adanya. Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki tampak tengah menambat perahu, dan menyambut kedatangan beliau.
Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu. “Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat,” kata lelaki itu. Adapun lelaki yang menuliskannya adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Baginda Nabi telah menampakkan diri di Negeri Baginda.
Peristiwa ini dipercaya sebagai jejak sejarah asal-usul nama "Makassar", yakni diambil dari nama "Akkasaraki Nabbiya", artinya Nabi menampakkan diri. Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu adalah Abdul Ma'mur Khatib Tunggal yang dikenal sebagai Dato' ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat). Baginda Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng Katangka setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar Sultan Abdullah Awaluddin Awawul Islam KaraEng Tallo Tumenanga ri Agamana. Beliau adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.
Lebih jauh, penyusuran asal nama "Makassar" dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
  1. Makna. Untuk menjadi manusia sempurna perlu "Ampakasaraki", yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin itu diwujudkan dengan perbuatan. "Mangkasarak" mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dengan ajaran TAO atau TAU (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti yang dipahami sebagian orang bahwa "Mangkasarak" orang kasar yang mudah tersinggung. Sebenarnya orang yang mudah tersinggung itu adalah orang yang halus perasaannya.
  2. Sejarah. Sumber-sumber Portugis pada permulaan abad ke-16 telah mencatat nama "Makassar". Abad ke-16 "Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing. Bahkan dalam syair ke-14 Nagarakertagama karangan Prapanca (1365) nama Makassar telah tercantum.
  3. Bahasa. Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dati kata "Mangkasarak" yang terdiri atas dua morfem ikat "mang" dan morfem bebas "kasarak". Morfem ikat "mang" mengandung arti: a). Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya. b). Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. ­Morfem bebas "kasarak" mengandung (arti: a). Terang, nyata, jelas, tegas. b). Nampak dari penjelasan. c). Besar (lawan kecil atau halus). 

Jadi, kata "Mangkasarak" Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter "Mangkasarak" berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.

John A.F. Schut dalam buku "De Volken van Nederlandsch lndie" jilid I yang beracara : De Makassaren en Boegineezen, menyatakan: "Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang sungai­sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim hujan; air-air terjun tertumpah mendidih, membusa, bergelora, kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan siapa-siapa. Tetapi sebagaimana juga sungai, gunung nan garang berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat menerima apa yang baik dan indah".
Dalam ungkapan "Akkana Mangkasarak", maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata "Mangkasarak" ini dapatlah dikenal bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat. 









READMORE
 

Syair Perang Mangkasar

Syair Perang Mangkasar

Bismiâllah itu suatu firman
Fardulah kita kepadanya iman
Muttasil pula dengan rahman
Hasil maksudnya pada yang budiman

Bismiâllah: untuk komentar mengenai doxology
Muttasil:  merupakan bahasa arab yang berarti (berhubungan, terkait, bergabung
)

Rahman itu sifat
Tiada bercerai dengan kunhi zat
Nyatanya itu tiada bertempat
Barang yang bekal sukar mendapat

kunhi zat: bahasa Arab kunhi dzat (esensi tuhan)

Rahim itu sifat yang sedia
Wajiblah kita kepadanya percaya
Barang siapa yang mendapat dia
Dunia akhirat tiada berbahaya

Al-hamduliâllah tahmid yang ajla
Nyatanya dalam kalam Allah ala
Madah terkhusus bagi hak taâ ala
Sebab itulah dikarang oleh wali Allah

Ajla: yang berasal dari bahasa Arab yang berarti berkilau

Setelah sudah selesai pujinya
Salawat pula akan nabi-Nya
Di sanalah asal mula tajallinya
Kesudahan tempat turun wahyunya

Muhammad itu nabi yang khatam
Mengajak ke hadrat rabbi al-alam
Sesungguhnya dahulu nyatanya (kelam)
Dari pada pancarnya sekalian alam

Salawat itu masyhur lafaznya
Telah termazhur pada makhluknya
Allahumma salliâalaihi akan agamanya
Di sanalah nyata sifat jamalnya

Tuanku sultan yang amat sakti
Akan Allah dan rasul sangatlah bakti
Suci dan ikhlas di dalam hati
Seperti air ma’al-hayati.

Daulatnya bukan barang-barang
Seperti manikam yang sudah di karang
Jikalau dihadap sengala hulubalang
Cahaya durjanya gilang gemilang .

Raja berani sangatlah bertuah
Hukumannya ‘adil kalbunya murah
Segenap tahun zakat dan fitrah
Fakir dan miskin sekalian limpah .

Sultan di Goa raja yang sabar
Berbuat ‘ibadat terlalu gemar
Menjauhi nahi mendekatkan amar
Kepada pendeta baginda belajar.

Baginda raja yang amat elok
Serasi dengan adinda di telo’
Seperti embun yang sangat sejuk
Cahayanya limpah pada segala makhluk.

Tiadalah habis gharib kata
Sempurnalah baginda menjadi sultan
Dengan saudaranya yang sangat berpatutan
Seperti emas mengikat intan.

Bijaksana sekali berkata-kata
Sebab berkapit dengan pendeta
Jikalau mendengar khabar berita
Sadarlah baginda benar dan dusta.

Kekal ikrar apalah tuanku
Seperti air zamzam di dalam sangku
Barang kehendak sekalian berlaku
Tenteranya banyak bersuku-suku

Patik persembahkan suatu rencana
Mohon ampun dengan karunia
Aturnya janggal banyak ta’kena
Karena ‘akalnya belum sempurna

Mohonkan ampun gharib yang fakir
Memcatatkan asma di dalam sya’ir
Maka patik pun berbuat sindir
Kepada negeri asing supaya lahir

Tuanku ampun fakir yang hina
Sindirnya tidak betapa bena
Menyatakan asma raja yang ghana
Supaya tentu pada segala yang bijaksana.

Maka patik berani berdatang sembah
Harapkan ampun karunia yang limpah
Tuanku ampuni hamba Allah
Karena aurnya banyak yang salah.

Tamatlah sudah memuji sultan
Tersebutlah perkataan Welanda syaitan
Kornilis Sipalman penghulu kapitan.
Raja Palakka jadi panglima.

Demikian asal mula pertama
Welanda dan Bugis bersama-sama
Kornilis Sipalman ternama
Raja Palakka menjadi panglima.

Berkampunglah Welanda sekalian jenis
Berkatalah Jendral Kapitan yang bengis
Jikalau alah Mengkasar nin habis
Tunderu’ kelak raja di Bugis.

Setelah didengar oleh si Tunderu’
Kata jenderal Welanda yang mabuk
Berbangkitlah ia yang duduk
Betalah kelak di medan mengamuk.

Akan cakap Bugis yang dusta
Sehari kubedil robohlah kota
Habis kuambil segala harta
Perempuan yang baik bahagian beta.

Jika sudah kita alahkan
Segala hasil beta persembahkan
Perintah negeri kita serahkan
Kerajaan di bone’Tunderu’ pohonkan

Setelah didengar oleh jenderal
Cakap Tunderu’ orang yang bebel
Disuruhnya berlengkap segala kapal
Seorang kapitan dijadikan amiral.

Putuslah sudah segala musyawarat
Welanda dan bugis membawa alat
Beberapa senapang dengan bangat
Sekalian soldadu di dalam surat.

Tujuh ratus enam puluh soldadu yang muda-muda
Memakai kamsol cara Welanda
Rupanya sikap seperti Garuda
Bermuatlah ke kapal barang yang ada.

Delapan belas kapal yang besar
Semuanya habis menarik layer
Turunlah angin barat yang besar
Sampailah ia ke negeri Mengkasar.

Di laut Barombong kapal berlabuh
Kata si Bugis nati dibunuh
Jikalau raja yang datang menyuruh
Semuanya tangkap kita perteguh

Pada sangkanya Bugis dan Welanda
Dikatanya takut gerangan baginda
Tambahan Bugis orang yang bida’ah
Barang katanya mengada-ngada.

Segala ra’yat yang melihat
Ada yang suka ada yang dahsat
Sekalian rakyat berkampung musyawarat
Masuk mengadap duli hadrat.

Daeng dank are masuk ke dalam
Mengadap duli mahkota ‘alam
Berkampunglah segala kaum Islam menantikan titah Syahi ‘alam.

Akan titah baginda sultan
Siapatah baik kita titahkan
Tanyakan kehendak Welanda syaitan
Hendak berkelahi kita lawan.

Menyahut baginda Karaeng Ketapang
Karaeng we jangan hatimu bimbang
Jikalau Welanda hendak berperang
Kita kampungkan sekalian orang.

Dititirlah nobat gendering pekanjar
Bunyinya gemuruh seperti tagar
Berhimpunlah ra’yat kecil dan besar
Adalah geger negeri Mengkasar.

Bercakaplah baginda Keraeng Popo
Mencabut sunderikyang amat elok
Barang di mana ketumbukan si Tunderu’
Daripada tertawan remaklah habi

Karaeng garasi’ raja yang tua
Barcakap di hadapan anakanda ke dua
Barang kerja akulah bawa
Karena badanku pun sudahlah tua.

Karaeng Bonto Majanang saudara Sultan
Sikapnya seperti harimau jantan
Barang ke mana patik dititahkan
Welanda dan Bugis saja kulaawan.

Bercakap pula Karaeng Jaranika
Merah padam warnanya muka
Welanda Bugis anjing celaka
Haramlah aku memalingkan muka.

Karaeng Panjalingang raja yang bijak
Melompat mencabut keris pandak
Jikalau undur patik nin kelak
kepada perempuan suruh tempelak.

Keraeng Bonto Sunggu raja elok
Bercakap di hadapan Raja Telo’
Biarlah patik menjadi cucuk
Welanda dan Bugis saja kuamuk.

Keraeng Balo’ raja yang muda
Bercakap di hadapan paduka kakanda
Jikalau sekad[ar] Bugis dan Welanda
Barang dititahkan patiklah ada.

Akan cakap Keraeng Sanderabone
Mencabut sunderik baru dicanai
Jikalau sekadar Sopeng dan Bone
Tambah lagi Sula’ dengan Burne.

Jikalau ia mau kemari
Sekapur sirih ia kuberi
Jikalau Allah sudah memberi
Si la’nat Allah kita tampari.

Bercakap bage Keraeng Mandale
Ia berkanjar mencabut sunderik
Berdiri melompat seraya bertempik
Barang di mana dititahkan patik.

Keraeng Mamu berani sungguh
Bercakap dengan kata yang teguh
Jikalau patik bertemu musuh
Pada barang tempat hambah bertutuh.

Catatan: syair ini ditulis oleh Sekertaris Pribadi Sultan Hasanuddin


Kepustakaan
http://lagaligo.net/



READMORE
 

Makna Pemmali dalam Budaya Bugis

Pemmali merupakan istilah dalam masyarakat Bugis yang digunakan untuk menyatakan larangan kepada seseorang yang berbuat dan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai. Pemmali dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "pemali" yang memiliki makna pantangan, larangan berdasarkan adat dan kebiasaan.
Masyarakat Bugis meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemmali akan mengakibatkan ganjaran atau kutukan. Kepercayaan masyarakat Bugis terhadap pemmali selalu dipegang teguh. Fungsi utama pemmali adalah sebagai pegangan untuk membentuk pribadi luhur. Dalam hal ini pemmali memegang peranan sebagai media pendidikan budi pekerti.




BENTUK-BENTUK PEMMALI
Pemmali dalam masyarakat Bugis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemmali dalam bentuk perkataan dan pemmali dalam bentuk perbuatan.

PEMMALI BENTUK PERKATAAN
Pemmali bentuk ini berupa tuturan atau ujaran. Biasanya berupa kata-kata yang dilarang atau pantang untuk diucapkan. Kata-kata yang pantang untuk diucapkan disebut kata tabu. Contoh kata tabu yang merupakan bagian pemmali berbentuk perkataan misalnya balawo â˜tikusâ, buaja â˜buayaâ, guttu â˜gunturâ. Kata-kata tabu seperti di atas jika diucapkan diyakini akan menghadirkan bencana atau kerugian. Misalnya, menyebut kata balawo (tikus) dipercaya masyarakat akan mengakibatkan gagal panen karena serangan hama tikus. Begitu pula menyebut kata buaja â˜buayaâ dapat mengakibatkan Sang Makhluk marah sehingga akan meminta korban manusia.
Untuk menghindari penggunaan kata-kata tabu dalam berkomunikasi, masyarakat Bugis menggunakan eufemisme sebagai padanan kata yang lebih halus. Misalnya, kata punna tanah â penguasa tanah â digunakan untuk menggantikan kata balawo, punna uwae â˜penguasa airâ digunakan untuk menggantikan kata buaja.

PEMMALI BENTUK PERBUATAN ATAU TINDAKAN
Pemmali bentuk perbuatan atau tindakan merupakan tingkah laku yang dilarang untuk dilakukan guna menghindari datangnya bahaya, karma, atau berkurangnya rezeki.
Beberapa contoh pemmali dan maknanya:

Riappemmalianggi anaâ daraE makkelong ri dapurennge narekko mannasui 
(Pantangan bagi seorang gadis menyanyi di dapur apabila sedang memasak atau menyiapkan makanan)
Masyarakat Bugis menjadikan pantangan menyanyi pada saat sedang memasak bagi seorang gadis. Akibat yang dapat ditimbulkan dari pelanggaran terhadap larangan ini adalah kemungkinan sang gadis akan mendapatkan jodoh yang sudah tua. Secara logika, tidak ada hubungan secara langsung antara menyanyi di dapur dengan jodoh seseorang. Memasak merupakan aktivitas manusia, sedangkan jodoh merupakan faktor nasib, takdir, dan kehendak Tuhan.Jika dimaknai lebih lanjut, pemmali di atas sebenarnya memiliki hubungan erat dengan masalah kesehatan. Menyanyi di dapur dapat mengakibatkan keluarnya ludah kemudian terpercik ke makanan. Dengan demikian perilaku menyanyi pada saat memasak dapat mendatangkan penyakit. Namun, ungkapan atau larangan yang bernilai bagi kesehatan ini tidak dilakukan secara langsung, melainkan diungkapkan dalam bentuk pemmali.

Deq nawedding anaq daraE matinro lettu tengga esso nasabaq labewi dalleqna 
(Gadis tidak boleh tidur sampai tengah hari sebab rezeki akan berlalu)
Bangun tengah hari melambangkan sikap malas. Apabila dilakukan oleh gadis, hal ini dianggap sangat tidak baik. Jika seseorang terlambat bangun, maka pekerjaannya akan terbengkalai sehingga rezeki yang bisa diperoleh lewat begitu saja. Terlambat bangun bagi gadis juga dihubungkan dengan kemungkinan mendapatkan jodoh. Karena dianggap malas, lelaki bujangan tidak akan memilih gadis seperti ini menjadi istri. Jodoh ini merupakan salah satu rezeki yang melayang karena terlambat bangun.
Dari tinjauan kesehatan, bangun tengah hari dapat mengakibatkan kondisi fisik menjadi lemah. Kondisi yang lemah menyebabkan perempuan (gadis) tidak dapat beraktivitas menyelesaikan kebutuhan rumah tangga. Masyarakat Bugis menempatkan perempuan sebagai pemegang kunci dalam mengurus rumah tangga. Perempuan memiliki jangkauan tugas yang luas, misalnya mengurus kebutuhan suami dan anak.

Riappemmalianggi matinro esso taue ri sese denapa natabbawa ujuna taumate engkae ri bali bolata
(Pantangan orang tidur siang jika jenazah yang ada di tetangga kita belum diberangkatkan ke kuburan)
 Pemmali ini menggambarkan betapa tingginya penghargaan masyarakat Bugis terhadap sesamanya. Jika ada tetangga yang meninggal, masyarakat diharapkan ikut mengurus. Masyarakat biasanya berdatangan ke tempat jenazah disemayamkan untuk memberikan penghormatan terakhir dan sebagai ungkapan turut berduka cita bagi keluarga yang ditinggalkan. Masyarakat yang tidak dapat melayat jenazah karena memiliki halangan dilarang untuk tidur sebelum jenazah dikuburkan. Mereka dilarang tidur untuk menunjukkan perasaan berduka atau berempati dengan suasana duka yang dialami keluarga orang yang meninggal.

Pemmali mattula bangi tauwe nasabaq macilakai 
(Pantangan bertopang dagu sebab akan sial)
 Bertopang dagu menunjukkan sikap seseorang yang tidak melakukan sesuatu. Pekerjaannya hanya berpangku tangan. Perbuatan ini mencerminkan sikap malas. Tidak ada hasil yang bisa didapatkan karena tidak ada pekerjaan yang dilakukan. Orang yang demikian biasanya hidup menderita. Ia dianggap sial karena tidak mampu melakukan pekerjaan yang mendatangkan hasil untuk memenuhi kebutuhannya. Ketidakmampuan tersebut mengakibatkan hidupnya menderita.

Pemmali lewu moppang ananaE nasabaq magatti mate indoqna 
(Pemali anak-anak berbaring tengkurap sebab ibunya akan cepat meninggal)
Tidur tengkurap merupakan cara tidur yang tidak biasa. Cara tidur seperti ini dapat mengakibatkan ganguan terhadap kesehatan, misalnya sakit di dada atau sakit perut. Pemali ini berfungsi mendidik anak untuk menjadi orang memegang teguh etika, memahami sopan santun, dan menjaga budaya. Anak merupakan generasi yang harus dibina agar tumbuh sehingga ketika besar ia tidak memalukan keluarga.

Pemmali kalloloe manrewi passampo nasabaq iyaro nasabaq ipancajiwi passampo siri 
(Pemali bagi remaja laki-laki menggunakan penutup sebagai alat makan sebab ia akan dijadikan penutup malu)
Laki-laki yang menggunakan penutup benda tertentu (penutup rantangan, panci, dan lainnya) sebagai alat makan akan menjadi penutup malu. Penutup malu maksudnya menikahi gadis yang hamil di luar nikah akibat perbuatan orang lain. Meski pun bukan dia yang menghamili, namun dia yang ditunjuk untuk mengawini atau bertanggung jawab. Inti pemali ini adalah memanfaatkan sesuatu sesuai fungsinya.
Menggunakan penutup (penutup benda tertentu) sebagai alat makan tidak sesuai dengan etika makan. Penutup bukan alat makan. Orang yang makan dengan penutup merupakan orang yang tidak menaati sopan santun dan etika makan. Akibat lain yang ditimbulkan jika menggunakan penutup sebagai alai makan adalah debu akan terbang masuk ke makanan. Akhirnya, makanan yang ada di wadah tertentu menjadi kotor karena tidak memiliki penutup. Hal ini sangat tidak baik bagi kesehatan karena dapat mendatangkan penyakit.

Pemmali saleiwi inanre iyarega uwae pella iya puraE ipatala nasabaq mabisai nakenna abalaq 
(Pemali meninggalkan makanan atau minuman yang sudah dihidangkan karena biasa terkena bencana)
Pemali ini memuat ajaran untuk tidak meninggalkan makanan atau minuman yang telah dihidangkan. Meninggalkan makanan atau minuman yang sengaja dibuatkan tanpa mencicipinya adalah pemborosan. Makanan atau minuman yang disiapkan itu menjadi mubazir. Makanan bagi masyarakat Bugis merupakan rezeki besar. Orang yang meninggalkan makanan atau minuman tanpa mencicipi merupakan wujud penolakan terhadap rezeki. Selain itu, menikmati makanan atau minuman yang dihidangkan tuan rumah merupakan bentuk penghoramatan seorang tamu terhadap tuan rumah. Meninggalkan makanan dapat membuat tuan rumah tersinggung.

Berdasarkan beberapa contoh yang dipaparkan di atas, pemmali dapat dikategorikan ke dalam beberapa bagian, yaitu menurut jenis kelamin, usia, atau bidang kegiatan. Pemmali dalam masyarakat Bugis merupakan nilai budaya yang sarat dengan muatan pendidikan. Pemmali umumnya memiliki makna yang berisi anjuran untuk berbuat baik, baik perbuatan yang dilakukan terhadap sesama maupun perbuatan untuk kebaikan diri sendiri. Pemmali sangat kaya nilai luhur dalam pergaulan, etika, kepribadian, dan sopan santun. Melihat tujuannya yang begitu luhur, pemmali merupakan nilai budaya Bugis yang mutlak untuk terus dipertahankan.



Kepustakaan
Suriana. Makna Pemmali dalam Masyarakat Bugis Soppeng.
Sulo, Hartati. Makna Pemmali dalam Masyarakat Petani di Kabupaten Soppeng.
Mattulada. Kebudayaan, Kemanusian, dan Lingkungan.






 
READMORE